Friday, July 8, 2016

Kebohongan Besar yang Berakibat Perang


Semua orang pasti mengatakan peperangan adalah hal yang mengerikan. Perang menyebabkan hilangnya nyawa banyak manusia, kota yang hancur, ekonomi yang remuk, dan banyak hal lain timbul karena dampak peperangan. Paling tidak perang dikobarkan disebabkan karena hal-hal yang penting maupun masalah-masalah yang bersifat strategis seperti: sengketa wilayah, kemanan nasional, pembunuhan tokoh, dan lainnya. Terkadang perang yang timbul disebabkan bukan oleh hal-hal seperti sebelumnya disebutkan tetapi hanya sebuah kebohongan. Selain kebohongan senjata pemusnah massal yang berakibat Amerika cs menurunkan tentaranya ke Irak di bawah ini juga merupakan kebohongan yang sengaja dilakukan sehingga berakibat berkobarnya perang: 
1. Hitler Membuat Adegan Palsu Invasi Polandia ke Jerman untuk Memulai Perang Dunia II
 Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa perang dunia 2 'secara resmi' dimulai pada tanggal 1 September 1939 ketika Jerman mnyerang Polandia. Tetapi ada peristiwa yang tak kalah pentingnya yang terjadi tepat sehari sebelum  penyerangan yang hampir terlupakan, yaitu justifikasi oleh Jerman karena Polandia 'menyerang' lebih dahulu. Peristiwa ini terjadi di stasiun radio Gliwice - sekitar 4 mil (+/- 6,5 km) di dalam Jerman, di perbatasan dengan Polandia.
Pada tanggal 31 Agustus 1939, Sturmbannführer Alfred Naujocks dipimpin enam perwira SS (Schutzstaffel) menyamar sebagai pejuang perlawanan Polandia dan mereka menangkap petani simpatisan Polandia Franciszek Honiok, membiusnya, dan membawanya ke sebuah stasiun radio Jerman di Gliwice. Sesampainya di sana, pasukan tersebut menyerbu stasiun, mengambil alih kendali dari tiga insinyur yang bertugas. Seorang petugas SS berbicara Polandia-mengumumkan, "Uwage! Tu Gliwice. Rozglosnia znajduje sie w rekach Polskich.'' ( Perhatian! Ini Gliwice. Stasiun penyiaran ada di tangan Polandia), sebelum seorang insinyur memotong daya untuk transmisi.
Sebelum pergi, para perwira SS memakaikan Honiok seragam militer Polandia, menembak dahinya, dan meninggalkannya di tangga stasiun radio sebagai "bukti" adanya "serangan Polandia." Kantor berita Jerman dengan patuh menyebarkan berita tentang serangan di seluruh penjuru Jerman, lembaga-lembaga lain seperti BBC mengetahui dan menyebarkan berita ke seluruh dunia.
Keesokan harinya, Hitler mengamuk dan menggunakan insiden di Gliwice sebagai alasan untuk menyatakan perang terhadap Polandia. Menghadapi Reichstag yang bersorak, ia mengklaim bahwa pelanggaran wilayah Jerman oleh tentara pengacau Polandia akhirnya menghabiskan kesabaran kita.
Rincian dari serangan Gliwice pertama kali muncul pada persidangan Nuremberg, tapi baru pada 1958, fakta-fakta lengkap terungkap setelah penulis Inggris Comer Clarke melacak mantan SS-Sturmbannführer Alfred Naujocks di Hamburg. Ketika ditanya oleh Clarke, Naujocks mengakui: "Ya, saya memulai semuanya. Saya pikir ada orang yang peduli dengan saya sekarang."
2. Makedonia Membuat Sebuah Plot Terorisme dan Pembunuhan Warga Sipil untuk Mengesankan Amerika Serikat
Enam bulan setelah penjatuhan pesawat di WTO, Menteri Dalam Negeri Makedonia saat itu Ljube Boskovski membuat pengumuman besar kepada dunia. Dalam baku tembak dekat Skopje, polisi Macedonia telah 'mengamankan" tujuh "mujahidin" yang tujuannya adalah menyerang kedutaan besar AS, Inggris, dan Jerman di ibu kota Makedonia.
Pertanyaan segera muncul tentang validitas laporan tersebut dan pada bulan September 2002, rincian sangat bertentanan muncul. Tujuh orang yang disebut teroris tersebut sebenarnya imigran Pakistan dan India, tertarik ke Makedonia dengan janji-janji bantuan dalam berimigrasi ke Eropa Barat. Setelah ditempatkan di sebuah apartemen bagus dan makan dengan nyaman, tujuh orang itu diantar ke tepi Skopje dan diberi senjata api sebelum minivan yang membawa mereka pergi. Kemudian, unit polisi khusus yang dikenal sebagai Lions - yang tidak menyadari bahwa orang-orang yang mereka menghadapi bukan teroris yang sebenarnya - menembak mereka hingga  53 kali.
Ljube Boskovski di blacklist Amerika Serikat karena menulis skenario kacau ini dan saat ini menjalani hukuman penjara ganda karena dana kampanye ilegal selama pemilu 2011 dan untuk menutup-nutupi pembunuhan tahun 2001 yang terjadi di bawah pengawasannya. Mungkin itu dapat memberikan rasa lega kepada keluarga dari tujuh imigran yang tidak bersalah yang terbunuh hanya untuk memberi kesan ke Amerika dan bergabung dengan War On Terror. 
3. Israel Mengebom Sekutu Terdekatnya untuk Mengacaukan Mesir
Di awal 1950-an, Israel menjadi khawatir bahwa Amerika Serikat menjadi terlalu terpikat dengan Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir saat itu dan menjadi sekutu untuk menghadpi Uni Soviet. Skema yang dihasilkan kemudian dikenal sebagai Lavon Affair.
Rencana Israel sederhana: meledakkan bom rakitan pada target yang dimiliki Amerika dan Inggris di Mesir, dan kemudian mengkambinghitamkan Muslim atau komunis. Dengan kejadian ini akan menunjukkan kepada Amerika bahwa Nasser bukanlah sekutu yang hebat (melihat bagaimana ia bahkan tidak bisa menjaga ketertiban di negerinya sendiri), serta meyakinkan Inggris bahwa untuk terus beroperasi pangkalan militer di Suez adalah gagasan yang baik. Pada bulan Juli 1954, Yahudi Mesir berhasil menanam dan meledakkan bahan peledak di perpustakaan, stasiun kereta api, dan bioskop di Alexandria dan Kairo.
Nama peristiwa ini diambil dari Menteri Pertahanan Israel Pinhas Lavon, yang mengundurkan diri setelahnya, meskipun nanti akan menjadi jelas bahwa direktur intelijen militer Israel, Binyamin Gibli, telah mendalangi seluruh hal ini. Delapan orang Yahudi Mesir didakwa dengan serangan itu, dua di antaranya digantung, salah satunya bunuh diri, dan lain di antaranya meninggal selama interogasi. Hukuman gantung tersebut berimbas serbuan militer balasan oleh Israel ke Gaza, yang mengakibatkan 39 korban Mesir, yang memicu pembelian senjata Soviet oleh Mesir, dan semua hal ersebut merupakan peristiwa yang mendahului Krisis Suez 1956.
Israel membantah terlibat dalam peristiwa tersebut selama setengah abad penuh hingga tahun 2005, mantan presiden Israel Moshe Katsav memberikan penghargaan atas pengabdian kepada tiga pembom yang masih hidup.
4. Raja Swedia Membuat Kostum Rusia untuk dipakai tentara Swedia saat Menyerang Swedia
Pada 1788, Raja Gustav III dari Swedia berhadapan dengan reputasinya yang menurun baik dari politisi maupun rakyatnya. Seperti biasanya pada zaman itu cara cepat yang bisa dilakukan untuk meningkatkan reputasi raja adalah dengan berperang. Sayangnya, konstitusi Swedia menjadi penghalang bagi Raja Gustav III untuk menyatakan perang. Sehingga untuk mengatasinya Raja Gustav III memerintahkan penjahit opera kerajaan untuk membuat seragam militer Rusia, menyuruh prajurit-prajurit Swedia untuk memakai seragam itu lalu menyerang sebuah pos Swedia di Finlandia. Bisa ditebak rakyat Swedia marah atas penyerangan itu, Raja Gustav III memanfaatkan kemarahan rakyat untuk meminta Catherine Agung untuk menyerahkan kembali beberapa wilayah seperti Vyborg dan Estonia yang diserahkan ke Peter Agung dalam Perang Utara Raya (1700–1721).
Raja Gustav III memprediksi dapat meraih kemenangan dari angkatan laut Rusia tidak siap, tapi ia gagal untuk mengetahui fakta bahwa angkatan laut Rusia sebagian besar sudah dimobilisasi karena ketegangan yang meningkat dengan Kekaisaran Turki Utsmani. Akibatnya, perang berlangsung dua tahun dan menelan puluhan ribu jiwa sebelum diakhiri dengan Perjanjian Varala. Akhir berakibat upaya pembunuhan oleh Jacob Johan Anckarstrom 16 Maret 1792 karena tidak menyukai kebijakan militer yang dilakukan oleh Gustav III.
5. Perdana Menteri Prusia Menghilangkan Kata-kata yang Halus dari Pesan Telegram
Seringkali cara paling mudah untuk berbohong adalah dengan tidak mengatakan kebenaran sepenuhnya. Seperti yang dilakukan oleh Perdana Menteri Prusia yang menakibatkan setengah dari Eropa terlibat perang. Dan perdana menteri itu bernama Otto von Bismarck yang bermimpi untuk menyatukan negara-negara Jerman yang terpecah-pecah. Nah, kesempatan untuk mewujudkan mimpi tersebut tiba saat Count Vincent Benedetti dari Prancis yang didaulat sebagai duta untuk bertemu dengan Raja Wilhelm I dari Prusia. 
Raja Wilhelm I mengirimkan pesan telegram kepada Otto Von Bismarck tentang detail pertemuan dan menerbitkannya. Tapi saat menerbitkn pesan telegram itu Otto von Bismarck menghilangkan kata-kata halus serta basa-basi yang biasa digunakan sehingga menjadi hampir setengah dari pesan sebenarnya. Sehingga ketika diterbitkan pesan tersebut menjadi terkesan seperti ejekan dan sang raja kemudian menyuruh Prancis keluar dan tidak kembali lagi.(Surat aslinya link)
Selang seminggu setelah pesan telegram itu muncul Prancis menyatakan perang pada Prusia. Dan seperti yang telah diprediksi oleh Otto von Bismarck, negara-negara Jerman bersatu dibawah Prusia untuk melawan Prancis. Meskipun negara-negara Jerman bersatu, namun hal ini perlu memakan korban 774,781 orang hanya gara-gara kata-kata halus yang dihilangkan.
Sumber: